Selasa, 11 Maret 2008

Kisah Petani-Petani di Surga

Abu Abdilbarr Sugeng Priyadi Al-Barbasy
(Pengamat Islam dan Pertanian)


Menanam dalam sekejap mata bisa dipanen


Bagaimanakah keadaan para petani di sawah-sawah mereka? Tentu kita bisa melihat mereka adalah pekerja keras. Mereka banting tulang, mengeras keringat dalam melakukan kegiatan pertanian seperti mengolah sawah berupa membajak sawah, membuat pematang dan parit. Juga kegiatan menanam berupa menyemai benih dan menanam bibit. Kemudian setelah tanaman tumbuh juga perlu dilakukan kerja keras dalam merawat dan memelihara tanaman baik berupa penanggulangan gulma dengan dilakukan penyiangan ataupun penyemprotan herbisida ataupun penanggulangan hama penyakit dengan melakukan penyemprotan insektisida dan fungisida. Semua kegiatan tersebut dilakukan dengan susah payah, kerja keras dan penuh pengorbanan. Belum lagi setelah dipanen, beberapa tanaman juga perlu diolah untuk bisa dikonsumsi dengan beberapa penanganan pasca panen.

Lalu bagaimanakah dengan keadaan petani-petani di surga?. Tentu kita telah mengetahui dan mengimani bahwa negeri penuh kenikmatan, kenyamanan dan kebahagiaan yang di dalamnya tidak ada kerepotan, kepayahan, jerih payah dan kesengsaraan. Kalau di surga ada orang yang bercocok tanam, pastinya tidak seperti di dunia dong yang penuh dengan kendala sebagaimana gambaran yang tersebut di atas.

Sesungguhnya para petani di surga, mereka setelah menabur benih kemudian sekejap mata mereka bisa memanennya. Sangat menkjubkan dan mudah bukan?. Ada hadits yang menerangkan tentang hal ini yaitu:

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ’anhu bahwasanya Nabi shollallohu ’alaihi wa sallam pada suatu hari berbincang dengan para sahabat sedang di sisi beliau ada orang badui. Beliau berkata: ’Bahwasanya ada salah seorang penghuni surga yang meminta izin kepada Robb-Nya untuk bercocok tanam , maka Alloh berkata kepadanya: ”Bukankah kamu telah memperoleh apa yang kamu kehendaki?” Dia menjawab: ”Betul, akan tetapi aku suka bercocok tanam.” Rosululloh kemudian bersabda: ’Kemudian penghuni surga itu menaburkan benih, dalam sekejap mata dihadapannya benih itu telah menjadi tanaman yang matang dan siap dipanen. Tanaman tersebut terkumpul seperti gunung. Lalu Alloh berkata: ”Ambillah wahai anak adam, sesungguhnya tidak ada yang bisa membuatmu kenyang”. Orang badui itu lalu bekomentar: ”Demi Alloh, aku tidak mendapati petani tersebut kecuali orang Quraisy atau Anshor karena mereka adalah orang-orang yang suka bercocok tanam.” Mendengarkan perkataan tersebut, Nabi sholallohu ’alaihi wa sallam tertawa.”Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori.

Ibnul Qoyyim rohimahulloh menjelaskan: ”Pada intinya hadits di atas menunjukkan bahwa di surga terdapat tanaman dan bibitnya juga berasal dari surga. Kalau ada orang yang bertanya, ’kenapa orang tersebut meminta izin kepada Robb-nya untuk menanam kemudian Alloh menjelaskan padanya bahwa orang tersebut tidak perlu menanam lagi?’ Jawabnya: bahwa orang tersebut meminta izin kepada Alloh untuk menanam tanaman dengan tangannya sendiri. Padahal Alloh sebenarnya tidak memerlukan orang itu bercocok tanam dan juga Alloh telah menyukupi semua kebutahan orang tersebut.”

Beliau juga menegaskan kisah tadi seraya berkata: ”Ibrohim bin Hakam meriwayatkan dari ayahnya, dari Ikrimah, dia berkata: ’Seorang penghuni surga bergumam dalam hatinya, ’Bagaimana ya, kalau sekiranya Alloh mengizinkan aku menanam tanaman di surga’. Orang tersebut tidak tahu kalau para malaikat sedang berdiri di pintu-pintu istananya. Para malaikat pun berkata kepadanya: ’Salam sejahtera untukmu, Robb-mu berfirman kepadamu bahwa engkau bergumam dalam hatimu ingin menanam tanaman di surga. Aku mengetahuinya. Sekarang Alloh mengutusku ke mari untuk mengantarkan benih-benih tanaman yang engkau inginka.’Alloh berkata: ’Tanamlah!’ Tidak lama kemudian tanaman itu tumbuh tinggi setinggi gunung. Alloh di atas arsy-Nya berkata kepadanya: ’Makanlah, wahai anak adam, sesungguhnya anak adam tidak pernah merasa kenyang’ Wallohu a’lam.”

Optimalisasi Syuro

Anis Matta
(Aktivis Dakwah Parlemen)


Upaya mengantisipasi resiko keputusan dan sikap politik membawa kita ke pembicaraan tentang bagaimana mengoptimalisasi syuro sebagai sebuah instrumen pengambilan keputusan. Walaupun akal kolektif lebih unggul dari akal individu, resiko salah keputusan dalam syuro tetap saja ada. Sekecil apa pun kesalahan itu.

Kebenaran prosedur dalam proses pengambilan sikap dan keputusan melalui syuro pada umumnya memudahkan tercapainya sebuah sikap dan keputusan dengan muatan yang benar. Dalam banyak kejadian, sebagian besar perhatian kita akan lebih banyak tertuju pada bagaimana meningkatkan mutu keputusan. Jika kita berbicara tentang bagaimana menghasilkan sebuah keputusan syuro yang bermutu, sesungguhnya kita berbicara tentang bagaimana mengoptimalkan syuro.

Secara umum syuro sebenarnya mempunyai fungsi psikologis dan fungsi instrumental. Fungsi psikologis terlaksana dengan menjamin adanya kemerdekaan.dan kebebasan yang penuh bagi setiap peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya secara wajar dan apa adanya. Tapi, tentu saja setiap orang punya cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Jika ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik, akan terjadi konflik yang kontraproduktif dalam syuro. Oleh karena itu, setiap peserta syuro harus mempunyai kelapangan dada untuk menerima keunikan-keunikan individu lainnya.

Kemerdekaan dan kebebasan diperlukan sebagai landasan menciptakan keterbukaan dan transparansi. Seriap peserta syuro terbebas dari segala bentuk rasa takut dan cemas yang biasanya mematikan kreativitas. Rasa aman karena terbebas dari rasa takut dan rasa nyaman karena merasa diterima secara wajar apa adanya, akan menjadi suasana yang kondusif baei terciptanya kreativitas dan keragaman yang produktif.

Dan itulah fungsi syuro yang sesungguhnya: mewadahi keragaman sebagai sumber kreativitas dan keunggulan kolektif. Tapi, yang menjamin terciptanya keseimbangan yang optimal antara kebebasan berekspresi dengan penerimaan yang wajar apa adanya adalah keikhlasan, pertanggungjawaban, dan kelapangan dada setiap peserta syuro.

Selain itu, syuro juga mempunyai fungsi instrumental. Syuro sebagai instrumen pengambilan keputusan adalah fungsi yang paling substansial dalam kehidupan sebuah organisasi. Jika mekanisme pengambilan keputusan selalu berjalan dengan baik, maka organisasi itu akan punya soliditas dan resistensi yang tinggi terhadap berbagai bentuk goncangan yang biasanya mengakhiri riwayat banyak organisasi.

Fungsi instrumental ini hanya dapat terlaksana apabila beberapa syaratnya terpenuhi. Pertama, tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup untuk menjamin bahwa keputusan yang kita ambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber informasi itu dapat berupa sumber intelijen, pelaku peristiwa, pengamat atau pakar suatu masalah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan, baik dengan pendekatan syariat maupun pendekatan dakwah. jadi, informasi yang akurat berkorelasi positif dan kuat dengan keputusan yang tepat. Kaidah ushul fiqh mengatakan, hukum yang kita berlakukan atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang sesuatu itu.

Kedua, tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif yang harus dimiliki setiap peserta syuro. Karena, kedalaman itulah yang menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan yang diutarakan oleh setiap peserta syuro. Itulah sebabnya para ulama menjadikan ilmu pengetahuan sebagai salah satu syarat pada mereka yang akan diangkat menjadi anggota syuro. Sebab, itulah yang menjadikan seseorang menjadi layak untuk dimintai pendapat dalam berbagai masalah.

Selain kedalaman ilmu pengetahuan, ada faktor lain yang terkait dengan syarat ilmu.Yaitu, dominasi akal atas emosi (rajahatul 'aql) serta sikap rasional yang konsisten. Faktor ini sangat menentukan karena inilah yang menjamin bahwa sikap-sikap emosional dan temperamental yang sebagian besarnya kontraproduktif tidak akan terjadi dalam syuro. Selama syuro merupakan proses ijtihad jama'i, maka syarat kedalaman ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan yang menentukan mutu hasil syuro.

Ketiga, adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro terkelola dengan baik. Dan pendapat-pendapat itu secara intens mengalami seleksi, penyaringan, serta integrasi yang ilmiah. Kemudian melahirkan sebuah keputusan bermutu. Keragaman yang terkelola dengan cara seperti itu niscaya akan melahirkan pikiran-pikiran baru yang biasanya sulit dibayangkan dapat lahir dari seorang individu.

Tetapi, tradisi ilimiah dalam perbedaan pendapat selalu tergantung pada syarat kedalaman ilmu pengetahuan dan dominasi akal atas ernosi pada diri peserta syuro. Walaupun begitu, tradisi perbedaan pendapat yang ilmiah juga dipengaruhi kultur masyarakat secara umum dan dipengaruhi oleh sikap toleransi para pimpinan organisasi.

Tradisi ilmiah mengharuskan kita menghilangkan sikap apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang lain, meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan seseorang sebagai gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah menuduh dan memojokkan orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap seperti itu akan mengeruhkan suasana diskusi dan perbedaan pendapat. Menekan secara psikologis dan mendorong peserta syuro untuk diarn dan tidak berbicara sekedar untuk menyelamatkan diri dari fitnah dan perlakuan kasar lainnya.Yang lebih parah dari itu adalah sikap-sikap seperti itu hanya merusak suasana ukhuwah. Dan, secara perlahan namun pasti, menumbuhkan benih-benih perpecahan dalam kehidupan berjama'ah.