Anis Matta
(Aktivis Dakwah Parlemen)
Upaya mengantisipasi resiko keputusan dan sikap politik membawa kita ke pembicaraan tentang bagaimana mengoptimalisasi syuro sebagai sebuah instrumen pengambilan keputusan. Walaupun akal kolektif lebih unggul dari akal individu, resiko salah keputusan dalam syuro tetap saja ada. Sekecil apa pun kesalahan itu.
Kebenaran prosedur dalam proses pengambilan sikap dan keputusan melalui syuro pada umumnya memudahkan tercapainya sebuah sikap dan keputusan dengan muatan yang benar. Dalam banyak kejadian, sebagian besar perhatian kita akan lebih banyak tertuju pada bagaimana meningkatkan mutu keputusan. Jika kita berbicara tentang bagaimana menghasilkan sebuah keputusan syuro yang bermutu, sesungguhnya kita berbicara tentang bagaimana mengoptimalkan syuro.
Secara umum syuro sebenarnya mempunyai fungsi psikologis dan fungsi instrumental. Fungsi psikologis terlaksana dengan menjamin adanya kemerdekaan.dan kebebasan yang penuh bagi setiap peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya secara wajar dan apa adanya. Tapi, tentu saja setiap orang punya cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Jika ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik, akan terjadi konflik yang kontraproduktif dalam syuro. Oleh karena itu, setiap peserta syuro harus mempunyai kelapangan dada untuk menerima keunikan-keunikan individu lainnya.
Kemerdekaan dan kebebasan diperlukan sebagai landasan menciptakan keterbukaan dan transparansi. Seriap peserta syuro terbebas dari segala bentuk rasa takut dan cemas yang biasanya mematikan kreativitas. Rasa aman karena terbebas dari rasa takut dan rasa nyaman karena merasa diterima secara wajar apa adanya, akan menjadi suasana yang kondusif baei terciptanya kreativitas dan keragaman yang produktif.
Dan itulah fungsi syuro yang sesungguhnya: mewadahi keragaman sebagai sumber kreativitas dan keunggulan kolektif. Tapi, yang menjamin terciptanya keseimbangan yang optimal antara kebebasan berekspresi dengan penerimaan yang wajar apa adanya adalah keikhlasan, pertanggungjawaban, dan kelapangan dada setiap peserta syuro.
Selain itu, syuro juga mempunyai fungsi instrumental. Syuro sebagai instrumen pengambilan keputusan adalah fungsi yang paling substansial dalam kehidupan sebuah organisasi. Jika mekanisme pengambilan keputusan selalu berjalan dengan baik, maka organisasi itu akan punya soliditas dan resistensi yang tinggi terhadap berbagai bentuk goncangan yang biasanya mengakhiri riwayat banyak organisasi.
Fungsi instrumental ini hanya dapat terlaksana apabila beberapa syaratnya terpenuhi. Pertama, tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup untuk menjamin bahwa keputusan yang kita ambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber informasi itu dapat berupa sumber intelijen, pelaku peristiwa, pengamat atau pakar suatu masalah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan, baik dengan pendekatan syariat maupun pendekatan dakwah. jadi, informasi yang akurat berkorelasi positif dan kuat dengan keputusan yang tepat. Kaidah ushul fiqh mengatakan, hukum yang kita berlakukan atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang sesuatu itu.
Kedua, tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif yang harus dimiliki setiap peserta syuro. Karena, kedalaman itulah yang menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan yang diutarakan oleh setiap peserta syuro. Itulah sebabnya para ulama menjadikan ilmu pengetahuan sebagai salah satu syarat pada mereka yang akan diangkat menjadi anggota syuro. Sebab, itulah yang menjadikan seseorang menjadi layak untuk dimintai pendapat dalam berbagai masalah.
Selain kedalaman ilmu pengetahuan, ada faktor lain yang terkait dengan syarat ilmu.Yaitu, dominasi akal atas emosi (rajahatul 'aql) serta sikap rasional yang konsisten. Faktor ini sangat menentukan karena inilah yang menjamin bahwa sikap-sikap emosional dan temperamental yang sebagian besarnya kontraproduktif tidak akan terjadi dalam syuro. Selama syuro merupakan proses ijtihad jama'i, maka syarat kedalaman ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan yang menentukan mutu hasil syuro.
Ketiga, adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro terkelola dengan baik. Dan pendapat-pendapat itu secara intens mengalami seleksi, penyaringan, serta integrasi yang ilmiah. Kemudian melahirkan sebuah keputusan bermutu. Keragaman yang terkelola dengan cara seperti itu niscaya akan melahirkan pikiran-pikiran baru yang biasanya sulit dibayangkan dapat lahir dari seorang individu.
Tetapi, tradisi ilimiah dalam perbedaan pendapat selalu tergantung pada syarat kedalaman ilmu pengetahuan dan dominasi akal atas ernosi pada diri peserta syuro. Walaupun begitu, tradisi perbedaan pendapat yang ilmiah juga dipengaruhi kultur masyarakat secara umum dan dipengaruhi oleh sikap toleransi para pimpinan organisasi.
Tradisi ilmiah mengharuskan kita menghilangkan sikap apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang lain, meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan seseorang sebagai gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah menuduh dan memojokkan orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap seperti itu akan mengeruhkan suasana diskusi dan perbedaan pendapat. Menekan secara psikologis dan mendorong peserta syuro untuk diarn dan tidak berbicara sekedar untuk menyelamatkan diri dari fitnah dan perlakuan kasar lainnya.Yang lebih parah dari itu adalah sikap-sikap seperti itu hanya merusak suasana ukhuwah. Dan, secara perlahan namun pasti, menumbuhkan benih-benih perpecahan dalam kehidupan berjama'ah.
Kebenaran prosedur dalam proses pengambilan sikap dan keputusan melalui syuro pada umumnya memudahkan tercapainya sebuah sikap dan keputusan dengan muatan yang benar. Dalam banyak kejadian, sebagian besar perhatian kita akan lebih banyak tertuju pada bagaimana meningkatkan mutu keputusan. Jika kita berbicara tentang bagaimana menghasilkan sebuah keputusan syuro yang bermutu, sesungguhnya kita berbicara tentang bagaimana mengoptimalkan syuro.
Secara umum syuro sebenarnya mempunyai fungsi psikologis dan fungsi instrumental. Fungsi psikologis terlaksana dengan menjamin adanya kemerdekaan.dan kebebasan yang penuh bagi setiap peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya secara wajar dan apa adanya. Tapi, tentu saja setiap orang punya cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Jika ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik, akan terjadi konflik yang kontraproduktif dalam syuro. Oleh karena itu, setiap peserta syuro harus mempunyai kelapangan dada untuk menerima keunikan-keunikan individu lainnya.
Kemerdekaan dan kebebasan diperlukan sebagai landasan menciptakan keterbukaan dan transparansi. Seriap peserta syuro terbebas dari segala bentuk rasa takut dan cemas yang biasanya mematikan kreativitas. Rasa aman karena terbebas dari rasa takut dan rasa nyaman karena merasa diterima secara wajar apa adanya, akan menjadi suasana yang kondusif baei terciptanya kreativitas dan keragaman yang produktif.
Dan itulah fungsi syuro yang sesungguhnya: mewadahi keragaman sebagai sumber kreativitas dan keunggulan kolektif. Tapi, yang menjamin terciptanya keseimbangan yang optimal antara kebebasan berekspresi dengan penerimaan yang wajar apa adanya adalah keikhlasan, pertanggungjawaban, dan kelapangan dada setiap peserta syuro.
Selain itu, syuro juga mempunyai fungsi instrumental. Syuro sebagai instrumen pengambilan keputusan adalah fungsi yang paling substansial dalam kehidupan sebuah organisasi. Jika mekanisme pengambilan keputusan selalu berjalan dengan baik, maka organisasi itu akan punya soliditas dan resistensi yang tinggi terhadap berbagai bentuk goncangan yang biasanya mengakhiri riwayat banyak organisasi.
Fungsi instrumental ini hanya dapat terlaksana apabila beberapa syaratnya terpenuhi. Pertama, tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup untuk menjamin bahwa keputusan yang kita ambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber informasi itu dapat berupa sumber intelijen, pelaku peristiwa, pengamat atau pakar suatu masalah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan, baik dengan pendekatan syariat maupun pendekatan dakwah. jadi, informasi yang akurat berkorelasi positif dan kuat dengan keputusan yang tepat. Kaidah ushul fiqh mengatakan, hukum yang kita berlakukan atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang sesuatu itu.
Kedua, tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif yang harus dimiliki setiap peserta syuro. Karena, kedalaman itulah yang menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan yang diutarakan oleh setiap peserta syuro. Itulah sebabnya para ulama menjadikan ilmu pengetahuan sebagai salah satu syarat pada mereka yang akan diangkat menjadi anggota syuro. Sebab, itulah yang menjadikan seseorang menjadi layak untuk dimintai pendapat dalam berbagai masalah.
Selain kedalaman ilmu pengetahuan, ada faktor lain yang terkait dengan syarat ilmu.Yaitu, dominasi akal atas emosi (rajahatul 'aql) serta sikap rasional yang konsisten. Faktor ini sangat menentukan karena inilah yang menjamin bahwa sikap-sikap emosional dan temperamental yang sebagian besarnya kontraproduktif tidak akan terjadi dalam syuro. Selama syuro merupakan proses ijtihad jama'i, maka syarat kedalaman ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan yang menentukan mutu hasil syuro.
Ketiga, adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro terkelola dengan baik. Dan pendapat-pendapat itu secara intens mengalami seleksi, penyaringan, serta integrasi yang ilmiah. Kemudian melahirkan sebuah keputusan bermutu. Keragaman yang terkelola dengan cara seperti itu niscaya akan melahirkan pikiran-pikiran baru yang biasanya sulit dibayangkan dapat lahir dari seorang individu.
Tetapi, tradisi ilimiah dalam perbedaan pendapat selalu tergantung pada syarat kedalaman ilmu pengetahuan dan dominasi akal atas ernosi pada diri peserta syuro. Walaupun begitu, tradisi perbedaan pendapat yang ilmiah juga dipengaruhi kultur masyarakat secara umum dan dipengaruhi oleh sikap toleransi para pimpinan organisasi.
Tradisi ilmiah mengharuskan kita menghilangkan sikap apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang lain, meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan seseorang sebagai gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah menuduh dan memojokkan orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap seperti itu akan mengeruhkan suasana diskusi dan perbedaan pendapat. Menekan secara psikologis dan mendorong peserta syuro untuk diarn dan tidak berbicara sekedar untuk menyelamatkan diri dari fitnah dan perlakuan kasar lainnya.Yang lebih parah dari itu adalah sikap-sikap seperti itu hanya merusak suasana ukhuwah. Dan, secara perlahan namun pasti, menumbuhkan benih-benih perpecahan dalam kehidupan berjama'ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar