Kata itsar sering terdengar di
telinga kita, nah apakah arti kata itsar
dan kenapa kita harus itsar kepada saudara kita? Sebelum membahas banyak tentang
itsar, kita perlu tahu terlebih dahulu tentang tahapan-tahapan menuju itsar. Itsar
merupakan tingkatan tertinggi dalam ukhuwah islamiah. Ukhuwah akan kokoh dan
erat apabila dilandasi dengan aqidah, ukhuwah seperti ini akan senantiasa dijaga
dan dilindungi Allah swt sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Ali-Imran ayat
103 :
“Dan
berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya
kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada ditepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”(Q.S. Ali-Imran : 103).
Ayat di atas menjelaskan tentang ukhuwah islamiyah yang
dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Dalam tahapan ukhuwah
islamiyah ada tiga tahapan yang harus dilalui sebelum mencapai itsar, yang
pertama adalah taaruf (perkenalan), pada
tahap ini biasanya baru mengenal nama, tempat dan tanggal lahir, penampilan serta
sifatnya. Tahap selanjutnya adalah tafahum (memahami) tentang karakternya
seperti hal yang disukai dan tidak disukai, ciri khas, dan
kebiasaan-kebiasaanya. Setelah seorang muslim saling mengenal dan memahami saudaranya,
apabila saudaranya ditimpa musibah atau kesulitan maka akan suka rela meolong
dan meringankan bebanya, nah inilah tahapan yang disebut ta’awun (tolong-menolong). Selanjutnya
sampailah pada tingkatan tertinggi ukhuwah islamiya yaitu itsar. Itsar dapat di
artikan sebagai mementingkan saudaranya yang seiman dan seaqidah lebih dari
dirinya sendiri. Hal ini sering terjadi
di zaman Rasulullah saw, diriwayatkan oleh Abu Jahm bin Hudzafah, “Pada saat
berlangsungnya perang Yarmuk, seorang sahabat mencari sepupunya yang sedang
ikut perang tersebut. Ia membawa air minum satu kendi untuk sepupunya, setelah
menemukanya, ia bermaksud untuk memberikan minum yang telah dibawanya itu
kepada sepupunya, tetapi terdengar suara orang yang merintih karena kehausan, orang
tersebut tergeletak didekat sepupnya. Dengan isyarat sepupunya memerintahkan
agar air minum tersebut diberikan kepada orang yang sedang merintih itu. Ternyata
orang tersebut dalam keadaan hampir meninggal dunia, ketika sahabat Rasulullah
yang membawa air minum ini mendekatinya, ternyata di tempat yang berdekatan
denganya juga ada orang yang berteriak karena kehausan meminta air. Dia adalah
Hisyam bin Abil ‘Ash r.a. Ketika akan mendekati orang ketiga tersebut, ternyata
ia telah meninggal dunia. Kemudian sahabat Rasul yang membewakan air minum menuju
ketempat saudara sepupunya, ternyata ia telah meninggal dunia (Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun).
Kisah ini menjelaskan betapa
mulianya seorang yang sudah mencapai ke tahap itsar. Bagaimanakah dengan kita?
Sudah sampai dimanakah tahapan kita? Silakan direnungkan dan dijawab sendiri.
Walaupun mereka sendiri sedang
dalam kehausan, tetapi mereka tetap memikirkan kepentingan saudaranya yang lain
yang masih dalam keadaan sulit. Mereka tidak memikirkan dirinya sendiri. Dengan
kematian mereka, Allah swt
melimpahkan pahala kepada mereka dan memasukanya kedalam syurga. Mereka sudah
memberikan tauladan berupa kasih sayang dengan mengorbankan nyawanya. Ini menjadi
renungan bagi kita sebagai penerus estafet dakwah Rasulullah saw. Ukhuwah islamiyah tidak akan mencapai pada
tahap itsar apabila kita saling mementingkan dirinya sendiri, saling acuh tak
acuh, dan tidak pernah memikirkan kesulitan yang dialami saudara kita. Mudah-mudah
dengan tulisan ini kita menjadi lebih sadar dan paham betapa pentingnya ukhuwah
islamiyah di jalan yang penuh onak dan duri ini. Ukhuwah tidak dicari tapi dibangun
dengan cara pengorbanan, baik waktu, tenaga, pikiran, biaya bahkan nyawa untuk
saudara kita seperti kisah di atas.
Referensi :
Ahmad, Abdurrahman.
2000. Himpunan Fadilah Amal. Yogyakarta : Ash-Shaff
By: Firman Zaylany_Kabid Penerbitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar